PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah
satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dalam
islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya
ketimbang aspek jasmaninya. Orang yang ahli dalam tasawuf disebut dengan
seorang sufi. Seorang sufi menekankan aspek rohaninya daripada jasmaninya.
Seorang sufi selalu berusaha untuk dekat dengan Tuhan-Nya. Dan untuk mencapai
itu, terdapat tingkatannya yaitu tobat, zuhud, sabar, shaleh, tawakal, kerelaan
(ridha), cinta dan ma’rifat.
B. Tujuan
1. Mengetahui
maqamat
2. Mengetahui tokoh-tokoh
tasawuf.
3. Mengetahui ajaran-ajaran
dari tokoh-tokoh tasawuf.
C. Rumusan Masalah
1. Apa saja
maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi?
2. Siapa saja
tokoh-tokoh tasawuf?
3. Bagaimana ajaran-ajaran
dari tokoh-tokoh tasawuf?
PEMBAHASAN
A.
MAQAMAT
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti
“tempat orang berdiri” atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya diartikan
sebagai “jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan
kepada Allah”. Dalam bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang
berarti “tangga”.
Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus
ditempuh oleh seorang sufi menuju Tuhan, yang telah disepakati oleh para sufi
yaitu al-zuhud, al-taubah, al-wara’,
al-faqr, al-shabr, al-tawakal, dan
al-ridha.
1.
Al-Zuhud
Kata al-zuhud secara
harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut Imam
al-Ghazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh
kesadaran”. Adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari
kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”. Dalam perspektif tasawuf, zuhud
diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat
kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan
ridha Allah SWT.
2.
Al-Taubah
Secara bahasa, kata al-taubah
berasal dari bahasa Arab yang berarti “kembali”. Sedangkan taubat yang dimaksud
oleh kalangan para sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan
yang kita lakukan disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa tersebut dan dibuktikan dengan melakukan amal kebajikan. Menurut Harun Nasution,
yang dimaksud taubat oleh para sufi ialah taubat yang sebenar-benarnya, yaitu
taubat yang disertai tekad untuk tidak melakukan dosa lagi. Taubat yang
sesungguhnya sebaiknya tidak dilakukan hanya satu kali saja.
Dalam Al-Quran banyak dijumpai ayat yang menganjurkan manusia
agar bertaubat, diantaranya:
“Dan, bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supayak amu beruntung.”
3.
Al-Wara’
Kata al-wara’
secara bahasa berarti ”saleh”, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini
selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian
sufi, al-wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang didalamnya terdapat
keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
4.
Al-Faqr
Al –faqr atau “fakir’ secara
bahasa biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau “orang
miskin”. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita serta tidak meminta rejeki kecuali sekedar
untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Fakir juga bisa diartikan sebagai “tidak
meminta, sungguh pun tak ada pada diri kita, kalau diberi kita terima”.
Artinya, tidak meminta tetapi juga tidak menolak.
5.
Al-Shabr
Kata al-shabr atau
“sabar” secara bahasa berarti tabah hati. Menurut Dzu al-Nun al-Mishri, sabar
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
tetapi tenang ketika seseorang mendapatkan dan menampakkan sikap cukup walaupun
sebenarnya dalam kefakiran (ekonomi). Selanjutnya, Ibn Atha mengatakan sabar
artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik.
Di kalangan para sufi, al-shabr diartikan sebagai sabar dalam
menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah,
juga sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan oleh Allah kepada kita.
Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Allah, sabar dalam menjalani cobaan
dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.
Sikap sabar sangat dianjurkan oleh Al-quran. Allah swt
berfirman:
“Bersikap sabarlah sebagaimana para
rasul yang berjiwa teguh. Jangan tergesa-gesa menghadapi mereka”.
6.
Al-Tawakal
Kata al-tawakal
atau “tawakal” secara bahasa berarti menyerahkan diri. Menurut Hamdun
al-Qashshar mengatakan, tawakal adalah berpegang teguh kepada Dzat Allah. Harun
Nasution mengatakan bahwa tawakal adalah menyerahkan diri kepada takdir dan
keputusan Allah. Seseorang yang bersikap tawakal selamanya dalam keadaan
tentram, jika mendapat anugerah dia berterima kasih, dan jika dia mendapat
musibah dia selalu sabar dan pasrah kepada takdir Allah. Seseorang yang
bertawakal tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari
ini.
Allah berfirman:
“Dan hanya kepada Allahlah
orang-orang yang beriman bertawakal”.
7.
Al-Ridha
Kata al-ridha atau
“ridha” secara bahasa berarti rela, suka, dan senang. Harun Nasution mengatakan
ridha berarti tidak berusaha menentang qadha
dan qadar Tuhan. Seseorang bersikap
ridha akan menerima qadha dan qadar dengan hati yang senang. Dia mampu
menghilangkan kebencian dari hati sehingga yang tinggal dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira, dia merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa
senang menerima nikmat. Dia tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, dan tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha dan qadar. Seseorang yang bersikap ridha justru perasaan cintanya
bergelora di waktu menerima bala’
(cobaan yang berat).
Biasanya manusia merasa sukar menerima keadaan “buruk” yang
menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, kehilangan
pangkat dan kedudukan, kematian dan lain-lain, yang dapat mengurangi
kesenangannya. Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan seperti itu hanyalah
orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu, dia juga rela berjuang
di jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela
berkorban harta, jiwa, dan sebagainya. Semua itu bagi seorang sufi dipandang
sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap
sebagai ibadah karena mengharapkan keridhaan Allah. Dalam hadis qudsi, Rasullah
saw menegaskan:
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan
selain Aku. Barang siap yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur
atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya
dia keluar dari kolong langit dan mencari Tuhan selain Aku.”
B.
TOKOH-TOKOH
TASAWUF DAN AJARANNYA
Berikut ini beberapa tokoh tasawuf yang terkenal beserta
ajarannya, diantaranya:
a. Hasan Al-Bashri
Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang
yang sangat taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan
ibn Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi
al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di
sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia
membuka pengajian disana karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan
kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu
ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu.
Gerakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat
berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang
terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’.
Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap
kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’.
Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan
sering melakukan perintah-Nya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh
karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan
mawas diri atau muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang akan datang
yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi.
b.
Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al
Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun
95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Dia
adalah seorang zahidah, zahid perempuan yang dapat menghiasi lembaran sejarah
sufi dalam abad kedua hijriah. Dia termasyhur karena mengemukakan dan membawa
versi baru dalam hidup keruhanian, dimana tingkat zuhud yang diciptakan Hasan al-Bashri
yang bersifat khauf dan raja’ itu dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkat zuhud yang
bersifat hub (cinta) karena yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.
Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam
tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat
puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan
al-mahabbah:
Kasihku,
hanya Engkau yang kucinta,
Pintu
hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau
mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun
mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya
sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti
kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain
Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepada Rasulullah SAW, ia
menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada
al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan
ini dipertegas lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam
dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna
rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan
yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
c.
Al-Hallaj
Al-hallaj adalah seorang tokoh sufi yang mengembangkan paham al-hulul. Nama lengkapnya adalah Husein
Bin Mansyur al-Hallaj. Dia dilahirkan pada tahun 244 H/858 M di negeri Baidha,
salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di
Waisith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia pergi belajar pada seorang
sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri
Ahwaz. Selanjutnya, ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama
Amr al-Makki. Pada tahun 264 H, ia masuk kota Baghdad dan belajar pada Junaid
yang juga seorang sufi. Al-Hallaj pernah menunaikan ibadah haji di Makkah
selama tiga hari. Dengan riwayat hidup singkat ini jelas bahwa ia memiliki
dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup mendalam dan kuat.
Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi
yang meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Hulul
berimplikasi kepada bersemayamnya sifat-sifat ke-Tuhanan kedalam diri manusia
atau masuk suatu dzat kedalam dzat yang lainnya. Hulul adalah doktrin yang
sangat menyimpang. Hulul ini telah disalah artikan oleh manusia yang telah
mengaku bersatu dengan Tuhan. Sehingga dikatakan bahwa seorang budak tetaplah
seorang budak dan seorang raja tetaplah seorang raja. Tidak ada hubungan yang
satu dengan yang lainnya sehingga yang terjadi adalah hanyalah Allah yang
mengetahui Allah dan hanya Allah yang dapat melihat Allah dan hanya Allah yang
menyembah Allah.
d. Al-Ghazali
Al-Ghazali
nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali. Karena kedudukan tingginya dalam Islam, dia diberi
gelar Hujjatul Islam. Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi,
bekerja sebagai pemintal wol. Dari itulah, tokoh sufi yang satu ini terkenal
dengan al-Ghazzali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula dengan
al-Ghazali, sebagaimana diriwayatkan al-Sam’ani dalam karyanya, al-Ansab,
yang dinisbatkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah. Al-Ghazali
lahir di Thus, kawasan Khurasan, tahun 1059 M. Ia pernah belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, seorang guru besar
di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, al-Ghazali
mempelajari teologi, pengetaauan alam, filsafat dan lain-lain, tetapi akhirnya
ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun menggembara
sebagai sufi, ia kembali ke Tus di tahun 1105 M dan meninngal di sana tahun
1111 M.
Di bidang
tasawuf, karya-karya Al-Ghazali cukup banyak, yang paling penting adalah Ihya’
‘Ulum al-Din. Dalam karyanya tersebut, dia menguraikan secara terinci
pendapatnya tentang tasawuf, serta menghubungkannya dengan fiqh maupun moral
agama. Juga karya-karya lainnya, al-Munqidz min al-Dhalal, dimana ia
menguraikan secara menarik kehidupan rohaniahnya, Minhaj al-‘Abidin, Kimia’
al-Sa’adah, Misykat al-Anwar dan sebagainya.
Ajarannya
e. Ibn Arabi
Muhyiddin Ibn Arabi lahir di Murcia, Spanyol tahun 1165
M. setelah menempuh studi di Seville, ia pindah ke Tunis di taun 1194 m, dan di
sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M ia pergi ke Makkah dan meninggal di
Damaskus tahun 1240 M.
Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai
penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya kira-kira berjumlah dua
ratus lebih. Salah satu buku termasyhurnya adalah Fushush al-Hikam yang
merupakan wacana tentang tasawuf.
Inti ajaran tasawuf yang diperkenalkan Ibn Arabi
adalah wahdat al-wujud. Wahdat
al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya
sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan
demikian, wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Dalam paham
wahdat al-wujud ada dua hal yaitu khalq (makhluk) dan haq (tuhan). Menurut
paham ini setiap sesuatu punya dua aspek (aspek luar dan dalam). Aspek luar
merupakan khalq yang merupakan sifat kemakhlukan, aspek dalam adalah haq yang
mempunyai sifat ketuhanan. Dari sini kemudian muncul pemahaman bahwa antara
makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan,
dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya
bayang-bayang atau fotokopi dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu
dasar pemikiran bahwa Allah sebagaimana diterangkan dalam al-hulul, ingin
melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu Dia menjadikan alam
semesta ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat
Allah ingin melihat diri-Nya, Dia cukup melihat alam ini. Pada benda-benda yang
ada di alam ini Allah dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini
terdapat sifat-sifat Allah, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini
juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya
satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa
cermin: ia melihat dirinya yang banyak, tetapi dirinya sebenarnya hanya satu
PENUTUP
KESIMPULAN
.
mantappp........kayaknya lebih bagus ada refrensinya yaaa..
BalasHapuslebih bagus ada kesimpulan sama referensi hahaha... thanks gan
BalasHapus