Jumat, 05 April 2013

MAKALAH TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN AJARANNYA


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dalam islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Orang yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi menekankan aspek rohaninya daripada jasmaninya. Seorang sufi selalu berusaha untuk dekat dengan Tuhan-Nya. Dan untuk mencapai itu, terdapat tingkatannya yaitu tobat, zuhud, sabar, shaleh, tawakal, kerelaan (ridha), cinta dan ma’rifat.

B.     Tujuan
1.      Mengetahui maqamat
2.      Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf.
3.      Mengetahui ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh tasawuf.

C.    Rumusan Masalah
1.      Apa saja maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf?
3.      Bagaimana ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh tasawuf?









PEMBAHASAN
A.    MAQAMAT
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti “tempat orang berdiri” atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya diartikan sebagai “jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan kepada Allah”. Dalam bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti “tangga”.
Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi menuju Tuhan, yang telah disepakati oleh para sufi yaitu al-zuhud, al-taubah, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridha.
1.      Al-Zuhud
Kata al-zuhud secara harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut Imam al-Ghazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”. Adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”. Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat  dan mengharapkan ridha Allah SWT.
2.      Al-Taubah
Secara bahasa, kata al-taubah berasal dari bahasa Arab yang berarti “kembali”. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan para sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang kita lakukan disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibuktikan dengan melakukan amal kebajikan. Menurut Harun Nasution, yang dimaksud taubat oleh para sufi ialah taubat yang sebenar-benarnya, yaitu taubat yang disertai tekad untuk tidak melakukan dosa lagi. Taubat yang sesungguhnya sebaiknya tidak dilakukan hanya satu kali saja.
Dalam Al-Quran banyak dijumpai ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat, diantaranya:
“Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supayak amu beruntung.”
3.      Al-Wara’
Kata al-wara’ secara bahasa berarti ”saleh”, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
4.      Al-Faqr
Al –faqr atau “fakir’ secara bahasa biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau “orang miskin”. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita serta tidak meminta rejeki kecuali sekedar untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Fakir juga bisa diartikan sebagai “tidak meminta, sungguh pun tak ada pada diri kita, kalau diberi kita terima”. Artinya, tidak meminta tetapi juga tidak menolak.
5.      Al-Shabr
Kata al-shabr atau “sabar” secara bahasa berarti tabah hati. Menurut Dzu al-Nun al-Mishri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika seseorang mendapatkan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya dalam kefakiran (ekonomi). Selanjutnya, Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik.
Di kalangan para sufi, al-shabr diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah, juga sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan oleh Allah kepada kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Allah, sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.
Sikap sabar sangat dianjurkan oleh Al-quran. Allah swt berfirman:
“Bersikap sabarlah sebagaimana para rasul yang berjiwa teguh. Jangan tergesa-gesa menghadapi mereka”.
6.      Al-Tawakal
Kata al-tawakal atau “tawakal” secara bahasa berarti menyerahkan diri. Menurut Hamdun al-Qashshar mengatakan, tawakal adalah berpegang teguh kepada Dzat Allah. Harun Nasution mengatakan bahwa tawakal adalah menyerahkan diri kepada takdir dan keputusan Allah. Seseorang yang bersikap tawakal selamanya dalam keadaan tentram, jika mendapat anugerah dia berterima kasih, dan jika dia mendapat musibah dia selalu sabar dan pasrah kepada takdir Allah. Seseorang yang bertawakal tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini.
Allah berfirman:
“Dan hanya kepada Allahlah orang-orang yang beriman bertawakal”.
7.      Al-Ridha
Kata al-ridha atau “ridha” secara bahasa berarti rela, suka, dan senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha menentang qadha dan qadar Tuhan. Seseorang bersikap ridha akan menerima qadha dan qadar dengan hati yang senang. Dia mampu menghilangkan kebencian dari hati sehingga yang tinggal dalamnya hanya perasaan senang dan gembira, dia merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Dia tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, dan tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha dan qadar. Seseorang yang bersikap ridha justru perasaan cintanya bergelora di waktu menerima bala’ (cobaan yang berat).
Biasanya manusia merasa sukar menerima keadaan “buruk” yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, kehilangan pangkat dan kedudukan, kematian dan lain-lain, yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan seperti itu hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu, dia juga rela berjuang di jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa, dan sebagainya. Semua itu bagi seorang sufi dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap sebagai ibadah karena mengharapkan keridhaan Allah. Dalam hadis qudsi, Rasullah saw menegaskan:
Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barang siap yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya dia keluar dari kolong langit dan mencari Tuhan selain Aku.”
B.     TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN AJARANNYA
Berikut ini beberapa tokoh tasawuf yang terkenal beserta ajarannya, diantaranya:
a.      Hasan Al-Bashri
Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’.
Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melakukan perintah-Nya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang akan datang yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi.
b.      Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Dia adalah seorang zahidah, zahid perempuan yang dapat menghiasi lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriah. Dia termasyhur karena mengemukakan dan membawa versi baru dalam hidup keruhanian, dimana tingkat zuhud yang diciptakan Hasan al-Bashri yang bersifat khauf dan raja’ itu dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkat zuhud yang bersifat hub (cinta) karena yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.
Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepada Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
c.       Al-Hallaj
Al-hallaj adalah seorang tokoh sufi yang mengembangkan paham al-hulul. Nama lengkapnya adalah Husein Bin Mansyur al-Hallaj. Dia dilahirkan pada tahun 244 H/858 M di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Waisith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya, ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki. Pada tahun 264 H, ia masuk kota Baghdad dan belajar pada Junaid yang juga seorang sufi. Al-Hallaj pernah menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga hari. Dengan riwayat hidup singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup mendalam dan kuat.
Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Hulul berimplikasi kepada bersemayamnya sifat-sifat ke-Tuhanan kedalam diri manusia atau masuk suatu dzat kedalam dzat yang lainnya. Hulul adalah doktrin yang sangat menyimpang. Hulul ini telah disalah artikan oleh manusia yang telah mengaku bersatu dengan Tuhan. Sehingga dikatakan bahwa seorang budak tetaplah seorang budak dan seorang raja tetaplah seorang raja. Tidak ada hubungan yang satu dengan yang lainnya sehingga yang terjadi adalah hanyalah Allah yang mengetahui Allah dan hanya Allah yang dapat melihat Allah dan hanya Allah yang menyembah Allah.
d.      Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali. Karena kedudukan tingginya dalam Islam, dia diberi gelar Hujjatul Islam. Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari itulah, tokoh sufi yang satu ini terkenal dengan al-Ghazzali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula dengan al-Ghazali, sebagaimana diriwayatkan al-Sam’ani dalam karyanya, al-Ansab, yang dinisbatkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah. Al-Ghazali lahir di Thus, kawasan Khurasan, tahun 1059 M. Ia pernah belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, seorang guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, al-Ghazali mempelajari teologi, pengetaauan alam, filsafat dan lain-lain, tetapi akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun menggembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus di tahun 1105 M dan meninngal di sana tahun 1111 M.
Di bidang tasawuf, karya-karya Al-Ghazali cukup banyak, yang paling penting adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam karyanya tersebut, dia menguraikan secara terinci pendapatnya tentang tasawuf, serta menghubungkannya dengan fiqh maupun moral agama. Juga karya-karya lainnya, al-Munqidz min al-Dhalal, dimana ia menguraikan secara menarik kehidupan rohaniahnya, Minhaj al-‘Abidin, Kimia’ al-Sa’adah, Misykat al-Anwar  dan sebagainya.
Ajarannya
e.       Ibn Arabi
Muhyiddin Ibn Arabi lahir di Murcia, Spanyol tahun 1165 M. setelah menempuh studi di Seville, ia pindah ke Tunis di taun 1194 m, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M ia pergi ke Makkah dan meninggal di Damaskus tahun 1240 M.
Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya kira-kira berjumlah dua ratus lebih. Salah satu buku termasyhurnya adalah Fushush al-Hikam yang merupakan wacana tentang tasawuf.
Inti ajaran tasawuf yang diperkenalkan Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud. Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Dalam paham wahdat al-wujud ada dua hal yaitu khalq (makhluk) dan haq (tuhan). Menurut paham ini setiap sesuatu punya dua aspek (aspek luar dan dalam). Aspek luar merupakan khalq yang merupakan sifat kemakhlukan, aspek dalam adalah haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dari sini kemudian muncul pemahaman bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang-bayang atau fotokopi dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagaimana diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu Dia menjadikan alam semesta ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat Allah ingin melihat diri-Nya, Dia cukup melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Allah dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Allah, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin: ia melihat dirinya yang banyak, tetapi dirinya sebenarnya hanya satu
PENUTUP
KESIMPULAN
.

2 komentar:

  1. mantappp........kayaknya lebih bagus ada refrensinya yaaa..

    BalasHapus
  2. lebih bagus ada kesimpulan sama referensi hahaha... thanks gan

    BalasHapus